Banjarmasin. Indonesia Jaya News
(Ambin Demokrasi)
CALAP PASANG DALAM, MENUJU “LAMAS” SA-ALAMAN
Oleh: Noorhalis Majid
Tidak ada kosa kata banjir dalam kebudayaan Banjar, yang ada hanya “calap”, yang tinggi airnya tidak lebih semata kaki. Kalau pun lebih dari itu yang disebabkan rob, maka orang Banjar menyebutnya “calap pasang dalam”, dimana saat purnama besar tiba, air sesekali menggenangi lantai dapur atau pekarangan rumah, terutama yang tinggal di pinggir Sungai.
Sekarang kondisinya tentu jauh berbeda. Perubahan iklim sangat berdampak bagi Banjarmasin, yang geografisnya memang di bawah permukaan laut. Kota ini dibentuk secara alami dari delta-delta yang kemudian menjadi daratan. Sungai, anjir, handil, dan saka, suatu kearifan cerdas pengendali apabila rob datang. Rumah-rumah dibangun berbentuk panggung, tidak menghilangkan fungsi rawa dan gambut sebagai resapan air.
Kemudian, budaya sungai tiba-tiba berubah berorientasi darat. Rawa dan bahkan sungai, diurug - ditinggikan dengan tanah, jadi jalan dan tanah lapang. Bangunan rumah tidak lagi panggung, namun “balapak” di tanah, karena rawanya ditutupi dengan cor semen. Sungai jadi belakang rumah, hilang sama sekali menjadi dapur-dapur yang “bersatu padu”. Sungai jadi selokan, selokannya dibuat sekedar ada, sahibar proyek tahunan yang tambal sulam.
Sekalipun tidak ada Perda sungai, Perda rumah panggung dan Perda lainnya. Orang Banjar dulu hidup dengan kebudayaan sungai, sehingga sangat paham soal rob, soal calap pasang dalam, soal fungsi rawa, gambut, anjir, handil dan saka. Dengan kearifan itu, tidak pernah panik menghadapi air, sebab kebudayaannya memang berbasis sungai.
Sekarang, ketika semua orientasi menjadi “darat”, termasuk orientasi Pemko dalam membangun kota sangat berorientasi darat. Maka jangan salahkan bila setiap tahun panik menghadapi rob – calap pasang dalam. Kalau orientasi darat diteruskan, maka tidak mustahil sebagai mana perkiraan banyak pakar, 2050 Banjarmasin tenggelam.
Tidak ada pilihan, kecuali Pemko mengalihkan orientasinya kembali kepada sungai, sebagaimana kebudayaan Banjar mengajarkan banyak hal tentang itu. Mulai dengan menggiatkan kembali normalisasi sungai, mendisiplinkan Perda rumah panggung – di mulai dari rumah dinas walikota, meminta restu pemerintah pusat agar Dinas Sungai dibolehkan, sebab Banjarmasin kota unik, letaknya di bawah permukaan laut, sangat membutuhkan satu institusi yang khusus menangani kelestarian sungai, agar kada “lamas sa-alaman”. (nm)
0 Komentar