Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Noorhalis Majid : "Bangun Orang Waras, Tagarak Urang Bangun”

Banjarmasin, Indonesia Jaya News 
(Ambin Demokrasi)

Hei bangun orang waras, demokrasi sudah basi… 
Buah ini busuk tak ada nutrisi…
Raga nya hidup... namun sukma nya mati…
Hukum memang buta tapi kenal transaksi… 
 
Hey pak petani, pupuk mahal cuma modus!
Agar beras impor jalannya bisa mulus…
Hey pak guru, pengangkatanmu tak diurus! 
Agar gaji tetap kecil terus menerus…
 
Hutan adat itu rumah kami, dijual kini…
Ratusan tahun kami sudah disini,
Skarang menjadi… lahan sawit oligarki… 


Itulah penggalan lagu terbaru dari Methosa, dinyanyikan artis serba bisa Rina Nose, yang sekarang ramai diperbincangkan, tapi dicekal untuk diperdengarkan. Oleh penciptanya sendiri, lagu tersebut dibuat atas dasar kepedulian terhadap nasib seluruh lapisan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. 

Lagunya dinyanyikan dengan lantang, seakan mendobrak segala sumbatan dan kebohongan yang terus disuguhkan. Judulnya mencoba menyadarkan semua orang yang merasa masih waras, agar bangun - bereaksi, jangan diam saja. 

Dicekal, karena syair dalam album lagu tersebut, terutama lagu bangun orang waras, dianggap terlalu keras, menyindir dan bahkan menohok persoalan kekinian yang terjadi di bangsa ini. Untung ada media sosial, sehingga lagu tersebut dapat beredar diberbagai platform alternatif.

Entah kenapa belakangan ini ada beberapa karya seni yang dicekal. Selain Methosa, sebelumnya ada Sukatani dengan lagunya bayar bayar bayar. Juga ada lukisan tikus di burung garuda.  Ada mural, pameran, dan bahkan pementasan teater. Dilarang karena dianggap berisi kritik terhadap pemerintahan. 

Apa yang berubah dari kedewasaan bangsa ini, terutama kehidupan demokrasi dan kebebasan berekspresi warga? Ketika karya seni dilarang, boleh jadi benar kata Methosa, demokrasi sudah basi – sudah tidak bisa diandalkan. Sudah tidak mampu mewadahi segala ekspresi, termasuk ekspresi seni.

Seandainya para seniman menjadi pelopor bangun orang waras, diikuti akademisi, pegiat media, tokoh agama, tokoh masyarakat. Bersama-sama menyuarakan kegelisahan masyarakat bawah. Termasuk menyuarakan jeritan UMKM, kegelisahan masyarakat adat, ketakutan masyarakat urban, kepanikan gelombang PHK, jeritan CPNS dan PPPK yang batal dilantik, kritik kegilaan para koruptor yang kehilangan rasa malu, aparat penegak hukum yang kebablasan, dan lain sebagainya, pastilah gaungnya besar sekali. 

Seni sangat potensial menjadi pendorong utama perubahan besar. Terutama ketika problemnya tidak sekedar kesadaran, namun juga kepedulian untuk mau menjadi pelopor. Bukankah perubahan dan bahkan revolusi besar yang terjadi di dunia ini, sebagian besar diinisiasi dan diinspirasi karya seni? 

Tantangan terbesar, tentu saja “tagarak urang bangun”. Satu ungkapan unik Kebudayaan Banjar, sebagai satu sindiran. Sehebat apapun saran dan kritik, bukan tidak mendengar atau tidak tahu, tapi pura-pura tidak tahu – seolah tidak mendengar, padahal tidak memedulikannya. (nm)

Posting Komentar

0 Komentar