Banjarmasin, Indonesia Jaya News
(Ambin Demokrasi)
“Mereka datang lagi ke toko kami, mencari-cari barang apa lagi yang tidak memiliki label kadaluarsa, ditemukanlah satu bungkus dodol kandangan yang tidak memiliki label kadaluarsa, padahal sementara kasus ini bergulir, kami belum dapat bimbingan dan pengarahan, tentang bagaimana harusnya menjalankan usaha, dan masih belajar membenahi semua produk yang dijual”, kata pemilih toko yang kasusnya sedang ramai diperbincangkan.
Berawal dari tidak adanya label kadaluarsa pada produk iwak karing yang dianggap berpotensi membahayakan konsumen, akhirnya dipersoalkan secara hukum. Hanya dianggap berpotensi, diduga akan membahayakan. Belum ada kasus yang keracunan atau mengalami celaka akibat mengkonsumsi iwak karing yang tidak ada label kadaluarsa, namun sudah menjadi persoalan hukum.
Kalau berdasarkan dugaan, tanpa ada kasus yang melatarinya, maka ribuan produk UMKM yang tidak memiliki label kadaluarsa, dapat diduga berpotensi menyebabkan keracunan, atau membahayakan kesehatan yang mengkonsumsinya. Bagaimana mungkin, persoalan hukum dapat diadili hanya berdasarkan dugaan? Dalam kasus seperti ini, kebudayaan Banjar memiliki ungkapan unik, “lalat mancari kudis”.
Lalat, binatang kecil yang suka mengerumuni sampah, bangkai atau apapun yang berbau busuk. Kudis (scabies) adalah penyakit kulit yang sangat gatal, akibat dari adanya tungau (mite). Tungau masuk ke dalam kulit, menyebabkan gatal, hingga borok dan menjadi koreng. Penyakit ini menular bila terlalu dekat. Lalat suka dengan koreng. Bila kudis dihinggapi lalat, sakitnya semakin terasa.
Lalat yang suka mencari kudis tersebut dipakai sebagai paribasa. Binatang dan penyakit, dijadikan satu, mengungkap perilaku manusia. Lalat suka yang kotor. Sedangkan kudis merupakan borok atau koreng. Maknanya suka mencari-cari keburukan dan kesalahan orang lain. Kerjanya hanya mengorek-ngorek kekurangan orang, dan senang bila mengetahui keburukan orang tersebut. Sebagaimana lalat yang suka mencari-cari koreng.
Dalam hidup ini, tentu ada yang suka mencari-cari kesalahan, entah karena ketidaksukaan yang sudah lama terpendam – sarik lawas, sentimen tidak beralasan, pendek kata apapun yang dilakukan, dianggap salah. Kesalahan kecil dianggap besar, dan yang besar dibuat semakin heboh.
Kalau serius memajukan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi warga, utamakan pembinaan. Jangan sedikit ada kesalahan, langsung berujung pada persoalan hukum. Kalau terus mencari-cari kesalahan, tentu akan banyak ditemukan kesalahan, tapi kebudayaan Banjar mengejeknya dengan sindiran “lalat mancari kudis”. (nm)
0 Komentar